BBSNEWS.CO.ID, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Supratman Andi Agtas, resmi menghentikan wacana penerapan denda damai bagi pelaku korupsi. Keputusan ini diambil karena denda damai hanya berlaku untuk tindak pidana ekonomi, seperti yang sebelumnya disampaikan oleh Kejaksaan Agung.
Penjelasan Supratman Soal Denda Damai
Supratman menegaskan bahwa wacana denda damai tidak relevan untuk kasus korupsi. “Karena itu, saya rasa untuk denda damai kita selesai sampai di sini. Sudah jelas bahwa itu hanya diterapkan untuk tindak pidana ekonomi. Namun, tindak pidana ekonomi juga berimplikasi pada kerugian negara, jadi jangan disalahartikan,” kata Supratman di kantornya, Jumat (27/12/2024).
Wacana ini sempat mencuat setelah Supratman menyebut bahwa perkara korupsi bisa dihentikan di luar pengadilan jika pelaku membayar denda damai yang disetujui Jaksa Agung. Ia merujuk pada Pasal 35 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI.
Mahfud MD: Denda Damai Tidak Berlaku untuk Korupsi
Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, menegaskan bahwa denda damai tidak dapat diterapkan untuk kasus korupsi. Menurutnya, beleid tersebut hanya berlaku pada tindak pidana ekonomi seperti perpajakan, bea cukai, dan kepabeanan.
“Korupsi tidak masuk. Itu jelas,” kata Mahfud saat ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menambahkan bahwa denda damai dalam UU Kejaksaan berbeda konteks dengan uang pengganti dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Denda damai dalam UU Kejaksaan digunakan untuk penyelesaian tindak pidana ekonomi seperti kepabeanan, cukai, dan pajak. Penyelesaian kasus korupsi mengacu pada UU Tipikor dengan mekanisme uang pengganti,” jelas Harli.
Penerapan Denda Damai Masih Terbatas
Harli menyebut bahwa penerapan denda damai bahkan belum digunakan untuk menyelesaikan tindak pidana ekonomi seperti kepabeanan. Jika korupsi ingin dimasukkan dalam mekanisme denda damai, maka perlu redefinisi korupsi sebagai tindak pidana ekonomi. Hingga saat ini, ketentuan dalam UU Tipikor tetap berlaku.
“Secara yuridis, tindak pidana korupsi tidak termasuk yang dapat diterapkan denda damai, kecuali ada definisi baru yang memasukkan korupsi ke dalam tindak pidana ekonomi,” tegas Harli.
Klarifikasi dari Supratman
Setelah menuai polemik, Supratman memberikan klarifikasi bahwa wacana denda damai hanya sebagai perbandingan dalam penerapan aturan. Menurutnya, baik korupsi maupun tindak pidana ekonomi sama-sama merugikan keuangan negara.
“Yang saya maksudkan adalah perbandingan. UU Tipikor dan UU Kejaksaan, khusus untuk tindak pidana ekonomi, keduanya merugikan keuangan negara. Namun, penerapannya berbeda,” jelasnya.
Supratman juga menekankan bahwa kebijakan pengampunan bukan hal baru di Indonesia. Ia mencontohkan kebijakan tax amnesty dan denda keterlanjuran dalam UU Cipta Kerja sebagai bentuk pengampunan yang dilakukan di luar pengadilan.
“Itu hanya perbandingan. Presiden sama sekali tidak berencana menerapkan denda damai untuk koruptor. Wewenang tersebut sepenuhnya berada di tangan Jaksa Agung,” ujarnya.
Tidak Ada Rencana Amnesti untuk Koruptor
Supratman memastikan bahwa wacana memaafkan koruptor masih sebatas diskusi. Bahkan dalam rencana pemberian amnesti untuk 44.000 narapidana, Presiden Prabowo Subianto tidak memasukkan pelaku korupsi dalam daftar penerima amnesti.
Sebagai tambahan, Supratman menyebut bahwa pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Mahfud MD juga pernah mengusulkan wacana serupa. Mahfud menyebutkan bahwa pendekatan seperti di Latvia dan Afrika Selatan bisa menjadi contoh.
“Dalam konteks tindak pidana korupsi, amnesti atau pengampunan sebenarnya sudah dikenal melalui mekanisme restorative justice. Namun, penerapannya tetap harus mempertimbangkan besar kecilnya kerugian negara,” tutup Supratman.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Supratman Andi Agtas, resmi menghentikan wacana penerapan denda damai bagi pelaku korupsi. Keputusan ini diambil karena denda damai hanya berlaku untuk tindak pidana ekonomi, seperti yang sebelumnya disampaikan oleh Kejaksaan Agung.
Penjelasan Supratman Soal Denda Damai
Supratman menegaskan bahwa wacana denda damai tidak relevan untuk kasus korupsi. “Karena itu, saya rasa untuk denda damai kita selesai sampai di sini. Sudah jelas bahwa itu hanya diterapkan untuk tindak pidana ekonomi. Namun, tindak pidana ekonomi juga berimplikasi pada kerugian negara, jadi jangan disalahartikan,” kata Supratman di kantornya, Jumat (27/12/2024).
Wacana ini sempat mencuat setelah Supratman menyebut bahwa perkara korupsi bisa dihentikan di luar pengadilan jika pelaku membayar denda damai yang disetujui Jaksa Agung. Ia merujuk pada Pasal 35 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI.
Mahfud MD: Denda Damai Tidak Berlaku untuk Korupsi
Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, menegaskan bahwa denda damai tidak dapat diterapkan untuk kasus korupsi. Menurutnya, beleid tersebut hanya berlaku pada tindak pidana ekonomi seperti perpajakan, bea cukai, dan kepabeanan.
“Korupsi tidak masuk. Itu jelas,” kata Mahfud saat ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menambahkan bahwa denda damai dalam UU Kejaksaan berbeda konteks dengan uang pengganti dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Denda damai dalam UU Kejaksaan digunakan untuk penyelesaian tindak pidana ekonomi seperti kepabeanan, cukai, dan pajak. Penyelesaian kasus korupsi mengacu pada UU Tipikor dengan mekanisme uang pengganti,” jelas Harli.
Penerapan Denda Damai Masih Terbatas
Harli menyebut bahwa penerapan denda damai bahkan belum digunakan untuk menyelesaikan tindak pidana ekonomi seperti kepabeanan. Jika korupsi ingin dimasukkan dalam mekanisme denda damai, maka perlu redefinisi korupsi sebagai tindak pidana ekonomi. Hingga saat ini, ketentuan dalam UU Tipikor tetap berlaku.
“Secara yuridis, tindak pidana korupsi tidak termasuk yang dapat diterapkan denda damai, kecuali ada definisi baru yang memasukkan korupsi ke dalam tindak pidana ekonomi,” tegas Harli.
Klarifikasi dari Supratman
Setelah menuai polemik, Supratman memberikan klarifikasi bahwa wacana denda damai hanya sebagai perbandingan dalam penerapan aturan. Menurutnya, baik korupsi maupun tindak pidana ekonomi sama-sama merugikan keuangan negara.
“Yang saya maksudkan adalah perbandingan. UU Tipikor dan UU Kejaksaan, khusus untuk tindak pidana ekonomi, keduanya merugikan keuangan negara. Namun, penerapannya berbeda,” jelasnya.
Supratman juga menekankan bahwa kebijakan pengampunan bukan hal baru di Indonesia. Ia mencontohkan kebijakan tax amnesty dan denda keterlanjuran dalam UU Cipta Kerja sebagai bentuk pengampunan yang dilakukan di luar pengadilan.
“Itu hanya perbandingan. Presiden sama sekali tidak berencana menerapkan denda damai untuk koruptor. Wewenang tersebut sepenuhnya berada di tangan Jaksa Agung,” ujarnya.
Tidak Ada Rencana Amnesti untuk Koruptor
Supratman memastikan bahwa wacana memaafkan koruptor masih sebatas diskusi. Bahkan dalam rencana pemberian amnesti untuk 44.000 narapidana, Presiden Prabowo Subianto tidak memasukkan pelaku korupsi dalam daftar penerima amnesti.
Sebagai tambahan, Supratman menyebut bahwa pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Mahfud MD juga pernah mengusulkan wacana serupa. Mahfud menyebutkan bahwa pendekatan seperti di Latvia dan Afrika Selatan bisa menjadi contoh.
“Dalam konteks tindak pidana korupsi, amnesti atau pengampunan sebenarnya sudah dikenal melalui mekanisme restorative justice. Namun, penerapannya tetap harus mempertimbangkan besar kecilnya kerugian negara,” tutup Supratman.