Kontroversi Penutupan Pameran Yos Suprapto: Kritik Anggota DPR dan Kebebasan Berkesenian

DAERAH557 Dilihat
banner 468x60

Bbsnews.co.id, Jakarta – Penutupan pameran lukisan seniman senior Yogyakarta, Yos Suprapto, di Galeri Nasional Indonesia menuai kritik tajam. Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP, Bonnie Triyana, menilai langkah ini sebagai preseden buruk bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Bonnie mengungkapkan bahwa Galeri Nasional, sebagai institusi pemerintah di bawah Kementerian Kebudayaan, seharusnya menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. Tindakan sensor terhadap karya seni, menurutnya, justru bertentangan dengan prinsip demokrasi.

banner 336x280

“Negara harus menjamin kebebasan berekspresi seniman. Sensor karya yang terjadi dalam pameran ini bisa menjadi preseden buruk dalam pemerintahan Prabowo Subianto,” ujar Bonnie dalam keterangan persnya, Sabtu (21/12/2024).

Kritik terhadap Penutupan dan Sensor

Bonnie menyoroti pentingnya ruang diskusi kritis dalam dunia seni, alih-alih melakukan intervensi atau pembatasan. Ia menilai bahwa kebijakan menurunkan lukisan Yos Suprapto mencerminkan sikap “alergi” terhadap perbedaan pandangan.

“Negara seharusnya membuka ruang kepada masyarakat dan pelaku seni untuk berdiskusi secara kritis. Jangan malah menunjukkan sikap alergi dan melakukan intervensi terhadap karya seni,” tegasnya.

Ia juga mengkritik eksklusivitas akses terhadap karya seni di Galeri Nasional, yang menurutnya tidak mencerminkan demokratisasi seni. Bonnie menyatakan, seni harus bisa dinikmati oleh publik luas tanpa diskriminasi.

Tema dan Kontroversi Pameran

Pameran Yos Suprapto sebelumnya direncanakan mengusung tema “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan”. Namun, dua karya Yos, berjudul Konoha I dan Konoha II, dinilai tidak sesuai dengan tema oleh kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo. Akibatnya, kedua lukisan tersebut ditutup menggunakan kain hitam, yang memicu tudingan sensor terhadap karya seni.

Bonnie membantah bahwa seni semacam itu dapat memicu dampak negatif politik atau sosial. “Seniman memiliki otoritas penuh dalam menentukan tema dan karya mereka. Publik adalah penilai terbaik, bukan pemerintah atau pihak tertentu,” ujar Bonnie.

Respon Galeri Nasional dan Mundurnya Kurator

Galeri Nasional menyatakan penutupan pameran disebabkan ketidaksepakatan antara seniman dan kurator terkait penataan karya. Keputusan untuk menutupi lukisan dengan kain hitam dianggap sebagai bentuk sensor, yang kemudian memicu protes dari kalangan seniman dan masyarakat.

Kurator Suwarno Wisetrotomo akhirnya memilih mundur dari jabatannya setelah kontroversi ini mencuat. Sementara itu, Yos Suprapto berencana menarik seluruh karyanya dari Galeri Nasional dan membawanya kembali ke kampung halaman di Yogyakarta.

Kebebasan Seni di Negara Demokrasi

Bonnie mengingatkan bahwa seni adalah medium bebas yang tidak boleh dihalangi. Dalam negara demokrasi, ruang seni seharusnya menjadi tempat eksplorasi dan interpretasi tanpa batas.

“Publik harus diberi kebebasan untuk menilai seni dari perspektif mereka sendiri. Negara tidak perlu khawatir karena seni tidak akan menimbulkan bencana politik,” tutup Bonnie.

banner 336x280
Baca Juga  Sritex: Perjalanan Panjang dari Kejayaan hingga Pailit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *