BBNEWS.CO.ID, Lebih dari seminggu terakhir, ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat terus memuncak. Serangkaian serangan yang dilancarkan AS ke fasilitas nuklir Iran memicu rencana Teheran untuk menutup Selat Hormuz jika keamanan aset vital nasionalnya benar-benar terancam.
Seorang pejabat Parlemen Iran yang tergabung dalam Komite Keamanan Nasional menyatakan bahwa Teheran memiliki berbagai opsi untuk merespons tekanan asing, dan penutupan Selat Hormuz menjadi salah satu langkah strategis yang bisa diambil apabila situasi terus memburuk. Pernyataan ini dilaporkan kantor berita semi-resmi Mehr dan dikutip oleh Reuters pada Senin, 23 Juni 2025.
Di sisi lain, anggota parlemen Ali Yazdikhah menegaskan bahwa Iran akan tetap menjaga akses Selat Hormuz selama kepentingan nasionalnya tidak terganggu. Namun, jika AS secara terbuka memasuki konflik untuk membantu Israel, menurut Yazdikhah, Iran berhak mengambil langkah tegas demi melindungi jalur perdagangan minyaknya.
Selat Hormuz, yang membentang antara Oman dan Iran, merupakan jalur ekspor krusial bagi sejumlah negara Teluk—mulai dari Arab Saudi hingga Kuwait. Sekitar 20% pasokan minyak global, setara dengan 18 juta barel per hari, melewati perairan sempit ini. Penutupan sepihak selat—yang di titik tersempit hanya selebar 33 kilometer—diperkirakan akan mengguncang pasar energi dunia.
Goldman Sachs memperingatkan bahwa gangguan terbatas di Selat Hormuz bisa mendorong harga minyak Brent menembus US$ 100 per barel, bahkan berpotensi melonjak hingga US$ 110 per barel jika penutupan berlangsung sebulan penuh. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada perdagangan Senin kemarin, harga Brent naik US$ 1,92 (2,49%) ke US$ 78,93, sedangkan minyak West Texas Intermediate (WTI) bertambah US$ 1,89 (2,56%) menjadi US$ 75,73 per barel.
Di awal sesi, kontrak berjangka Brent sempat menyentuh US$ 81,40, sementara WTI mencapai US$ 78,40—level tertinggi dalam lima bulan terakhir. Sejak konflik bergulir pada 13 Juni, Brent telah meningkat sekitar 13% dan WTI naik hampir 10%. Angka-angka ini juga mendekati asumsi harga dalam APBN 2025, yang menetapkan maksimal US$ 82 per barel
